di bawah Aurora Borealis

Langit Depok mendung kelabu, pertanda hujan akan segera turun. Dimas, si pujangga muda yang masih terjebak dalam zona nyamannya, termenung di teras rumah nenek. Matanya terpaku pada tarian rintik hujan di atas genting. Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berhenti di depan rumah. Seorang wanita berjas rapi keluar dari mobil. Wajahnya familiar. "Mustika?" serunya tak percaya. Ya, wanita itu adalah Mustika, teman SMA Dimas yang terkenal pintar dan ambisius. Dulu, dia selalu bermimpi untuk bekerja di luar negeri. Dan sekarang, mimpinya telah menjadi kenyataan. Dia bekerja di sebuah perusahaan asing di Kutub Timur. "Hai, Dimas!" sapanya ramah. "Senang bertemu denganmu lagi." Hujan turun semakin deras, mengiringi perbincangan mereka di teras rumah. Mustika menceritakan tentang pekerjaannya di Kutub Timur, tentang budaya di sana, dan tentang aurora borealis yang menakjubkan. Dimas mendengarkan dengan penuh kekaguman.


Beberapa hari setelah pertemuan itu, Mustika kembali datang ke rumah nenek. Kali ini, dia datang dengan sebuah tawaran yang tak terduga. "Dimas," kata Mustika, "aku ingin menawarkanmu kesempatan untuk bekerja di perusahaanku di Kutub Timur."


Dimas tercengang. Tawaran itu datang begitu tiba-tiba. Dia tak pernah membayangkan diriku bekerja di luar negeri, apalagi di Kutub Timur. "Aku... aku tidak tahu," jawabnya ragu. "Aku belum pernah pergi ke luar negeri sebelumnya." "Jangan khawatir," kata Mustika. "Aku akan membantumu. Aku yakin kamu bisa melakukannya." Dimas masih ragu, tapi melihat semangat dan keyakinan Mustika, hatinya dilanda kebimbangan. Di satu sisi, dia tergoda dengan prospek petualangan dan pengalaman baru di negeri yang jauh. Di sisi lain, rasa ragu dan takut akan hal yang tidak diketahui membelenggu dirinya. Bagaimana dengan nenek? bisik hati Dimas. Dia tak tega meninggalkan neneknya sendirian di Depok. "Bagaimana dengan nenek?" tanyanya akhirnya, berusaha mengulur waktu. "Aku tidak tega meninggalkannya sendirian." Mustika tersenyum. "Nenekmu pasti akan mengerti," jawabnya. "Lagipula, ini kesempatan emas untukmu. Kamu bisa belajar banyak hal baru dan mengembangkan potensimu." Kata-kata Mustika bagaikan api yang membakar keraguan dalam diri Dimas. Dia teringat mimpi masa kecilnya untuk menjelajahi dunia dan menjadi seorang pujangga yang terkenal. "Baiklah," ujarku akhirnya, dengan tekad yang bulat. "Aku akan pergi bersamamu." Mustika memeluk Dimas erat. "Aku yakin kamu tidak akan menyesalinya," bisiknya.


Hari-hari berikutnya berlalu bagaikan angin. Dimas disibukkan dengan berbagai persiapan untuk keberangkatan ke Kutub Timur. Dia mengurus visa, mempelajari bahasa dan budaya setempat, dan berlatih berbagai keterampilan yang diperlukan untuk bertahan hidup di lingkungan yang ekstrem. Di tengah kesibukan itu, rasa gundah dan keraguan masih menghantui diriku. Dia membayangkan dinginnya Kutub Timur, kesepian di negeri asing, dan bahaya yang mungkin menanti di sana. Setiap malam, dia termenung di bawah langit Depok yang penuh bintang, bertanya-tanya apakah dia telah membuat keputusan yang tepat. Apakah dia akan mampu beradaptasi dengan kehidupan di Kutub Timur? Akankah dia menemukan kebahagiaan di negeri yang jauh dari rumah? 


Dimas dan Mustika akhirnya berangkat ke Kutub Timur. Di sana, mereka disuguhkan dengan pemandangan yang menakjubkan, hamparan salju putih yang luas, langit biru yang jernih, dan aurora borealis yang menari-nari di langit malam. Dimas mulai beradaptasi dengan kehidupan di Kutub Timur. Dia belajar bahasa dan budaya setempat, menjalin pertemanan baru, dan mulai menikmati keindahan alam yang menakjubkan. Namun, bekerja di Kutub Timur tidaklah mudah. Dimas harus menghadapi cuaca yang ekstrem, medan yang sulit, dan bahaya yang selalu mengintai. Suatu hari, Dimas dan timnya mengalami badai salju yang dahsyat. Angin menderu kencang, melolong seperti serigala kelaparan. Salju tebal turun dengan lebat, mengurangi jarak pandang menjadi kabut putih yang menyesakkan. Dimas dan timnya terjebak dalam badai salju yang dahsyat. Mereka sedang melakukan survei di lapangan terbuka ketika badai itu datang tiba-tiba. "Kita harus mencari perlindungan!" teriak Anton, rekan kerja Dimas, suaranya nyaris tak terdengar ditelan deru angin.


Dengan susah payah, mereka berlari menuju sebuah gubuk tua yang terlihat samar-samar di kejauhan. Gubuk itu kecil dan reyot, namun menawarkan harapan di tengah situasi yang mencekam. Sesampainya di gubuk, mereka mendobrak pintu yang sudah berkarat. Pintu itu terbuka dengan enggan, mengeluarkan suara derit yang menusuk telinga. Di dalam gubuk, mereka menemukan perabotan tua dan perapian yang sudah lama tidak digunakan. "Syukurlah kita bisa berlindung di sini," kata Mustika, sambil berusaha menyalakan api di perapian. Mereka berdesak-desakan di dalam gubuk yang sempit. Rasa dingin menusuk tulang, dan persediaan makanan mereka terbatas. Jam demi jam berlalu, badai salju tak kunjung reda. Kecemasan dan ketakutan mulai menyelimuti mereka. Dalam situasi yang menegangkan itu, Dimas tanpa sadar mendapati dirinya duduk berdekatan dengan Mustika. Mereka berbincang untuk mengalihkan perhatian dari rasa dingin dan ketakutan. Mustika bercerita tentang masa kecilnya yang penuh mimpi untuk menjelajahi dunia. Dimas, terpesona oleh semangat dan kecerdasan Mustika, menceritakan mimpinya untuk menjadi pujangga yang karyanya bisa menyentuh hati banyak orang.


Seiring berjalannya waktu, perbincangan mereka semakin dalam. Mereka saling berbagi cerita, harapan, dan impian. Dimas merasakan kehangatan yang menyelimuti dirinya, bukan hanya dari api unggun yang mulai menyala, tapi juga dari kedekatannya dengan Mustika. Di tengah kepungan badai salju, benih-benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Dimas menatap Mustika dengan tatapan penuh arti, dan dia pun membalas tatapan itu dengan senyum yang manis. Namun, situasi yang berbahaya dan ketidakpastian tentang masa depan membuat mereka  belum berani mengungkapkan perasaan masing-masing. Badai salju akhirnya mereda setelah dua hari dua malam. Sinar matahari yang hangat mulai menembus gumpalan awan tebal. Dimas dan timnya, yang sudah kehabisan bekal, memutuskan untuk keluar dari gubuk dan mencari bantuan. Perjalanan mereka kembali ke penginapan tidaklah mudah. Salju yang tebal membuat medan menjadi sulit dilalui. Namun, semangat untuk bertahan hidup dan rasa solidaritas di antara mereka membuat mereka bisa melewati rintangan tersebut. Setelah menempuh perjalanan selama beberapa jam, mereka akhirnya sampai di penginapan. Tim penyelamat yang sudah dikerahkan, menyambut mereka dengan lega.


Kembali ke penginapan yang hangat dan aman, Dimas masih terbayang-bayang pengalaman menegangkan yang dialaminya bersama Mustika. Dia tak bisa melupakan tatapan dan kedekatan yang terjalin di antara mereka selama terjebak dalam badai salju. Perasaan cintanya kepada Mustika semakin kuat. Namun, Dimas dilanda kebimbangan. Dia takut perasaannya itu tak terbalas, dan dia tak ingin merusak persahabatan yang selama ini mereka jalin.


Suatu malam, langit Kutub Timur dipenuhi dengan cahaya warna-warni yang menari-nari. Aurora Borealis, keindahan alam yang langka, terhampar di angkasa. Dimas mengajak Mustika untuk keluar dan menyaksikan fenomena alam yang menakjubkan itu.


(Berdiri berdampingan dengan Mustika, menatap aurora borealis)

Aurora menari, bagai lukisan di langit malam,

Menyinari jiwa dengan spektrum yang memikat.

Di sisimu, Mustika, keindahan ini terasa kian sempurna,

Membangkitkan rasa yang tak terkira.


(Menatap Dimas dengan teduh)

Kata-katamu bagai melodi yang menenangkan,

Menyapa hatiku dengan kelembutan yang menawan.

Di bawah aurora borealis ini, bersamamu,

Aku merasakan kedamaian yang tak terhingga.


(Menggenggam tangan Mustika dengan erat)

Mustika, sejak pertama kali bertemu,

Ada rasa yang tumbuh di dalam kalbu.

Rasa yang kian hari kian mekar,

Menjadi cinta yang tak tertahankan.


(Menunduk malu, pipinya memerah)

Dimas, aku pun merasakan hal yang sama.

Cinta yang bagaikan aurora borealis ini,

Indah, penuh warna, dan tak terduga.

Namun, cinta ini takkan pudar ditelan badai.



Komentar