Mudik



Sinar jingga keemasan mentari sore menyapa wajah Bima yang tengah bersiap untuk mudik. Di usianya yang ke-22, Bima memancarkan aura ketenangan dan keteguhan. Jiwanya damai, siap untuk menempuh perjalanan panjang dari Yogyakarta menuju kota kelahirannya di seberang. "Yogyakarta, terima kasih atas segala kenangannya. Kini saatnya aku kembali ke kampung halaman. Aku rindu keluarga, rindu suasana desa, rindu aroma tanah basah yang selalu menyambutku di sana." Bima memilih untuk mudik dengan motor. Baginya, perjalanan bukan hanya tentang mencapai tujuan, tetapi juga tentang menikmati prosesnya. Angin sepoi-sepoi dan aroma tanah basah menyambutnya di jalanan Yogyakarta yang lengang. Langit senja berwarna jingga keemasan, bagaikan lukisan abstrak yang terlukis di kanvas alam. Bima memasuki jalan tikus, jalan penghubung antar provinsi yang terkenal dengan medannya yang menantang. Jalanan berbatu, tanjakan curam, dan turunan tajam menjadi rintangan yang harus Bima lalui. Perut Bima mulai berbunyi. Sejak pagi, ia belum mencicipi makanan apa pun. Ia fokus pada perjalanannya, menikmati setiap momen di atas motornya. Kini, perutnya tak bisa lagi dibohongi. Bima melihat sebuah warung kecil di tepi jalan. Ia menepikan motorya dan masuk ke dalam warung. Aroma kopi yang harum menyambutnya. Bima memesan segelas kopi hitam, karena waktu berbuka tinggal sebentar lagi. "Ah, perutku sudah berteriak minta diisi. Semoga kopi dan bekalku ini bisa memberi tenaga untuk melanjutkan perjalanan." Warung kopi itu sederhana, hanya terdiri dari beberapa meja dan kursi kayu. Di sudut ruangan, terdapat seorang kakek tua yang sedang membaca koran. Bima duduk di meja dekat jendela, menikmati pemandangan langit senja yang indah. Bima mengamati kakek tua yang duduk di sudut ruangan. Kakek itu tampak khusyuk membaca koran. Bima merasa penasaran dan ingin berbincang dengannya. "Kek, bolehkah saya duduk di sini?" "Silakan, Nak." "Kopi asli sini, Kek." "Betul, Nak. Saya sendiri yang menyangrai kopinya." "Mau mudik ya, Nak?" "Iya, Kek. Sudah lama saya tidak pulang ke kampung halaman." "Apa yang Nak rindukan dari kampung halaman?" "Aku rindu keluarga, rindu suasana desa, rindu teman-teman lama. Di sana, aku merasa damai dan bahagia." "Kek, apa boleh saya berbuka puasa di sini?" "Tentu saja, Nak. Silakan."
Bima mengeluarkan bekal buka puasanya dari tas. Ia berbagi makanan dengan kakek penjual kopi. Mereka berbuka puasa bersama, ditemani oleh kopi hangat buatan warung kopi pinggir jalan dan suasana senja yang indah. "Kakek, bolehkah saya bertanya?" "Tentu saja, Nak. Apa yang ingin kamu tanyakan?" "Kakek terlihat sering melihat foto-foto di handphone. Apakah itu foto-foto perjalanan Kakek?" "Benar sekali, Nak. Kakek suka menjelajahi berbagai tempat dan mengabadikan momen indahnya." "Wah, pasti banyak cerita menarik di balik foto-foto itu. Bolehkah Kakek menceritakannya kepada saya?" "Tentu saja, Nak. Kakek senang berbagi cerita dengan orang lain." "Saya senang sekali mendengarnya."
"Foto ini adalah saat Kakek mendaki Gunung Rinjani di Lombok. Pemandangannya sangat indah, meskipun perjalanannya cukup menantang." "Wah, luar biasa! Saya ingin sekali mendaki gunung suatu hari nanti." "Bagus sekali, Nak. Mendaki gunung bisa menjadi pengalaman yang luar biasa. Tapi, kamu harus mempersiapkan diri dengan baik, baik fisik maupun mental." "Saya akan berusaha, Kek." "Nah, foto ini adalah saat Kakek mengunjungi suku Baduy di Banten. Mereka masih menjaga tradisi dan adat istiadat leluhur mereka." "Kakek, bolehkah saya menceritakan tentang kehidupan saya di Yogyakarta?" "Tentu saja, Nak. Kakek senang mendengarkannya." "Saya sudah tinggal di Yogyakarta selama lima tahun. Saya kuliah mengambil jurusan Ilmu Komunikasi." "Wah, jurusan yang bagus. Apa yang kamu pelajari di sana?" "Saya belajar tentang banyak hal, seperti jurnalistik, public relations, dan broadcasting." "Itu semua ilmu yang bermanfaat. Apa kamu sudah punya rencana setelah lulus nanti?" "Saya ingin bekerja di media massa, Kek. Saya ingin menjadi jurnalis dan menulis tentang berbagai hal menarik." "Itu cita-cita yang bagus, Nak. Teruslah belajar dan berusaha keras untuk meraihnya." "Terima kasih atas dukungannya, Kek." Bima kemudian menceritakan tentang pengalamannya selama tinggal di Yogyakarta. Dia menceritakan tentang teman-temannya, tempat-tempat yang dia kunjungi, dan kegiatan-kegiatan yang dia lakukan. Kakek mendengarkan dengan penuh perhatian dan sesekali memberikan nasihat kepada Bima.
"Terima kasih atas kopi dan ceritanya, Kek. Saya harus melanjutkan perjalanan kembali." "Sama-sama, Nak. Senang bisa bertemu denganmu." "Saya pamit ya, Kek." "Hati-hati di jalan, Nak. Selamat mudik." "Terima kasih, Kek." (tersenyum) "Terima kasih atas pertemuan ini, Kek. Cerita dan nasihatmu akan selalu aku ingat." Beberapa jam kemudian, Bima sudah berada jauh dari warung kopi. Langit senja telah berganti menjadi malam yang kelam, dihiasi oleh bintang-bintang yang berkilauan. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya.

Komentar